FILARIASIS
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Filariasis
merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh cacing filaria yang ditularkan
melalui berbagai jenis nyamuk. Terdapat tiga spesies cacing penyebab Filariasis
yaitu: Wuchereria bancrofti; Brugia malayi; Brugia timori. Semua spesies
tersebut terdapat di Indonesia, namun lebih dari 70% kasus filariasis di
Indonesia disebabkan oleh Brugia malayi. Cacing tersebut hidup di
kelenjar dan saluran getah bening sehingga menyebabkan kerusakan pada sistem
limfatik yang dapat menimbulkan gejala akut dan kronis. Gejala akut berupa
peradangan kelenjar dan saluran getah bening (adenolimfangitis) terutama
di daerah pangkal paha dan ketiak tapi dapat pula di daerah lain. Gejala kronis
terjadi akibat penyumbatan aliran limfe terutama di daerah yang sama dengan
terjadinya peradangan dan menimbulkan gejala seperti kaki gajah (elephantiasis),
dan hidrokel. Berdasarkan laporan dari kabupaten/kota, jumlah kasus kronis filariasis
yang dilaporkan sampai tahun 2009 sudah sebanyak 11.914 kasus.
Filariasis
dapat ditularkan oleh seluruh jenis spesies nyamuk. Di Indonesia diperkirakan
terdapat lebih dari 23 spesies vektor nyamuk penular filariasis yang terdiri
dari genus Anopheles, Aedes, Culex, Mansonia, dan Armigeres. Untuk
menimbulkan gejala klinis penyakit filariasis diperlukan beberapa kali gigitan
nyamuk terinfeksi filaria dalam waktu yang lama.
Orang
yang terinfeksi mikrofilaria akibat adanya larva caing ini di dalam tubuhnya,
tidak selalu menimbukan gejala. Gejala yang timbul biasanya diakibatkan oleh
larva cacing yang merusak kelenjar getah bening sehingga mengakibatkan
tersumbatnya aliran pembuluh limfa. Gejala yang timbul biasanya berupa
pembengkakan (edema) di daerah tertentu (pada aliran pembuluh limfa di dalam
tubuh manusia). Gejala ini dapat berupa pembesaran tungkai/kaki (kaki gajah)
atau lengan dan pembesaran skrotum/vagina yang pembengkakan(edema)nya bersifat
permanen.
Penyakit
filariasis bersifat menahun (kronis) dan jarang menimbulkan kematian pada
penderitanya. Namun, bila penderita tidak mendapatkan pengobatan, penyakit ini
dapat menimbulkan cacat menetap pada bagian yang mengalami pembengkakan
(seperti: kaki, lengan dan alat kelamin) baik pada penderita laki-laki maupun
perempuan.
Saat
ini, diperkirakan larva cacing tersebut telah menginfeksi lebih dari 700 juta
orang di seluruh dunia, dimana 60 juta orang diantaranya (64%) terdapat di
regional Asia Tenggara. (WHO, 2009). Di Asia Tenggara, terdapat 11 negara yang
endemis terhadap filariasis dan salah satu diantaranya adalah Indonesia.
Indonesia merupakan salah satu negara di Asia Tenggara dengan jumlah penduduk
terbanyak dan wilayah yang luas namun memiliki masalah filariasis yang
kompleks. Di Indonesia, ke tiga jenis cacing filaria (W. Brancrofti, B
malayi dan B timori) dapat ditemukan. (WHO, 2009) .
Filariasis
menjadi masalah kesehatan masyarakat dunia sesuai dengan resolusi World
Health Assembly (WHA) pada tahun 1997. Program eleminasi filariasis di
dunia dimulai berdasarkan deklarasi WHO tahun 2000. di Indonesia program
eliminasi filariasis dimulai pada tahun 2002. Untuk mencapai eliminasi, di
Indonesia ditetapkan dua pilar yang akan dilaksanakan yaitu: 1).Memutuskan
rantai penularan dengan pemberian obat massal pencegahan filariasis (POMP
filariasis) di daerah endemis; dan 2).Mencegah dan membatasi kecacatan karena
filariasis.
Di
Sulawesi Selatan penyakit ini tersebar cukup luas dengan rentang usia yang
cukup variatif, baik laki-laki maupun perempuan.Penularannya yang cepat selain
cacat menetap yang diakibatkannya membuat masyarakat perlu diberi informasi
sebanyak-banyaknya mengenai kecenderungan penyakit ini.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan pernyataan yang diuraikan
pada latar belakang, maka yang menjadi rumusan masalah yaitu :
§
Apa itu penyakit Kaki Gajah (Filariasis / Elephantiasis) ?
§
Bagaimana epidemiologi penyakit kaki gajah (Filariasis / Elephantiasis) ?
§
Bagaimanakah siklus hidup cacing filarial ?
§
Seperti apa etiologi, masa inkubasi dan diagnosis penyakit kaki gajah
(Filariasis / Elephantiasis) ?
§
Bagaimana Riwayat Alamiah penyakit filariasis ?
§
Seperti apa Manifestasi Klinik dari penyakit kaki gajah (Filariasis /
Elephantiasis) ?
§
Bagaimana kah penyakit kaki gajah dilihat dari Patologi dan Imunologinya ?
§
Bagaimana Mekanisme Penularan Serta Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Kaki
Gajah (Filariasis / Elephantiasis) ?
1.3 Tujuan
Berdasarkan latar belakang dan
perumusan masalah di atas, maka tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu :
§
Menjelaskan pengertian penyakit Kaki Gajah (Filariasis / Elephantiasis)
§
Menyajikan epidemiologi penyakit kaki gajah (Filariasis / Elephantiasis)
§
Menjelaskan siklus hidup cacing filarial
§
Menjelaskan etiologi, masa inkubasi dan diagnosis penyakit kaki gajah
(Filariasis / Elephantiasis
§
Mendeskripsikan Riwayat Alamiah penyakit filariasis
§
Menjelaskan Manifestasi Klinik dari penyakit kaki gajah (Filariasis /
Elephantiasis)
§
Menjelaskan penyakit kaki gajah dilihat dari Patologi dan Imunologinya
§
Menyajikan Mekanisme Penularan Serta Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit
Kaki Gajah (Filariasis / Elephantiasis).
BAB II
PEMBAHASAN
3.1 Gambaran Umum
Filariasis
adalah penyakit menular ( Penyakit Kaki Gajah ) yang disebabkan oleh larva
cacing Filaria (Wuchereria Brancrofti, Brugia Malayi dan Brugia
Timori) yang ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk, baik nyamuk jenis
culex, aedes, anopheles, dan jenis nyamuk lainnya. Penyakit ini ditularkan
melalui gigitan nyamuk dari orang yang mengandung larva cacing (mikrofilaria)
dari salah satu cacing filaria di atas kepada orang yang sehat (tidak
mengandung) .
Penyakit
ini jarang fatal namun dampak psikis dan sosioekonomi yang ditimbulkan cukup
nyata. Adapun filariasis tidak hanya menyerang manusia melainkan juga hewan.
Filariasis disebabkan oleh cacing nematoda golongan filaria. Beberapa spesies
filaria yang ternama di Indonesia adalah Wuchereria bancrofti, Brugia
malayi, dan Brugia timori. Cacing Wuchereria bancrofti dapat
menyebabkan penyakit kaki gajah karena sifatnya yang dapat mengganggu peredaran
getah bening. Sedangkan Brugia malayi dan Brugia timori tidak.
Penyakit
ini bersifat menahun (kronis) dan bila tidak mendapatkan pengobatan, dapat
menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran kaki, lengan dan alat kelamin baik
perempuan maupun laki-laki. Penyakit Kaki Gajah bukanlah penyakit yang
mematikan, namun demikian bagi penderita mungkin menjadi sesuatu yang dirasakan
memalukan bahkan dapat mengganggu aktifitas sehari-hari. Tidak seperti Malaria
dan Demam berdarah, Filariasis dapat ditularkan oleh 23 spesies nyamuk dari
genus Anopheles, Culex, Mansonia, Aedes & Armigeres. Karena inilah,
Filariasis dapat menular dengan sangat cepat. Tanda dan Gejala Penyakit Kaki
Gajah
Seseorang yang terinfeksi penyakit kaki gajah umumnya terjadi pada usia kanak-kanak, di mana dalam waktu yang cukup lama (bertahun-tahun) mulai dirasakan perkembangannya.
Seseorang yang terinfeksi penyakit kaki gajah umumnya terjadi pada usia kanak-kanak, di mana dalam waktu yang cukup lama (bertahun-tahun) mulai dirasakan perkembangannya.
3.2 Siklus Hidup Cacing Filaria
Siklus
hidup cacing Filaria terjadi melalui dua tahap, yaitu:
1.
Tahap pertama, perkembangan cacing Filaria dalam tubuh nyamuk sebagai vector
yang masa pertumbuhannya kurang lebih 2 minggu.
2.
Tahap kedua, perkembangan cacing Filaria dalam tubuh manusia (hospes) kurang
lebih 7 bulan.
Siklus hidup cacing Filaria dalam tubuh nyamuk
Siklus
hidup pada tubuh nyamuk terjadi apabila nyamuk tersebut menggigit dan menghisap
darah orang yang terkena filariasais, sehingga mikrofilaria yang terdapat di
tubuh penderita ikut terhisap ke dalam tubuh nyamuk. Mikrofilaria yang masuk ke
paskan sarung pembungkusnya, kemudian mikrofilaria menembus dinding lambung dan
bersarang di antara otot-otot dada (toraks).
Bentuk
cacing Filaria menyerupai sosis yang disebut larva stadium I. Dalam waktu
kurang lebih 1 minggu, larva ini berganti kulit, tumbuh akan lebih gemuk dan
panjang yang disebut larva stadium II. Pada hari ke sepuluh dan seterusnya,
larva berganti kulit untuk kedua kalinya, sehingga tumbuh semakin panjang dan
lebih kurus, ini yang sering disebut larva stadium III. Gerak larva stadium III
ini sangat aktif, sehingga larva mulai bermigrasi (pindah), mula-mula ke rongga
perut (abdomen) kemudian pindah ke kepala dan ke alat tusuk nyamuk.
Perkembangan filaria dalam tubuh manusia
Siklus
hidup cacing Filaria dalam tubuh manusia terjadi apabila nyamuk yang mengendung
mikrofilaria ini menggigit manusia. Maka mikrofilaria yang sudah berbentuk
larva infektif (larva stadium III) secara aktif ikut masuk ke dalam tubuh
manusia (hospes).
Bersama-sama
dengan aliran darah pada tubuh manusia, larva keluar dari pembuluh darah
kapiler dan masuk ke pembuluh limfe. Di dalam pembuluh limfe, larva mengalami
dua kali pergantian kulit dan tumbuh menjadi cacing dewasa yang sering disebut
larva stadium IV dan stadium V. Cacing Filaria yang sudah dewasa bertempat di
pembuluh limfe, sehingga akan menyumbat pembuluh limfe dan akan terjadi
pembengkakan, misalnya pada kaki dan disebut kaki gajah (filariasis).
3.3 Etiologi, Masa Inkubasi, Diagnosis Penyakit Kaki Gajah
(Filariasis / Elephantiasis)
Etiologi.
Wuchereria bancrofti hanya ditemukan pada manusia; Brugia malayi
sering kali menyebar kepada manusia melalui inang hewan. Parasit dewasa hidup
di sistem limphatik. Microfilaria yang dilepaskan oleh betina gravit ditemukan
di darah perifer, biasanya pada malam hari. Infeksi menyebar melalui banyak
genera nyamuk; vektor Wuchereria bancrofti adalah aedes, culex, dan
anopheles; vektor Brugia malayi adalah anopheles dan mansonia.
Microfilaria dimakan oleh nyamuk, berkembang di otot torax serangga, dan
kemudian matur dan bermigrasi ke bagian mulut serangga. Jika nyamuk terinfeksi
menggigit inang baru, microfilaria masuk ke tempat gigitan dan akhirnya
mencapai saluran limfatik, dimana mereka manjadi matur.
Inflamasi
dan fibrosis yang terjadi disekitar cacing dewasa dan mudah menghasilkan
obstruksi limfatik progresif. Microfilaria mungkin tidak berperang langsung
dalam reaksi inang.
Masa Inkubasi.
Pada manusia antara 3-15 bulan sedangkan pada hewan bervariasi sampai beberapa
bulan. Masa inkubasi mungkin sesingkat 2 bulan. Periode pra paten (dari saat
infeksi sampai tampaknya microfilaria di dalam darah) sekurang-kurangnya 8
bulan.
Diagnosis.
Ø Diagnosis
Klinik
Ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan klinik. Diagnosis klinik penting
dalam menentukan angka kesakitan akut dan menahun (Acute and Chronic Disease
Rate).
Pada keadaan amikrofilaremik, gejala
klinis yang mendukung dalam diagnosis filariasis adalah gejala dan
pengalaman limfadenitis retrograd, limfadenitis berulang dan gejala menahun.
Diagnosis
ParasitologikØ
Ditemukan mikrofilaria pada
pemeriksaan darah jari pada malam hari. Pemeriksaan dapat dilakukan slang hari,
30 menit setelah diberi dietilkarbamasin 100 mg. Dari mikrofilaria secara
morfologis dapat ditentukan species cacing filaria.
Pada keadaan amikrofilaremia seperti
pada keadaan prepaten, inkubasi, amikrofilaremia dengan gejala menahun, occult
filariasis, maka deteksi antibodi dan/atau antigen dengan cara
immunodiagnosis diharapkan dapat menunjang diagnosis.
Adanya antibodi tidak menunjukkan
korelasi positif dengan mikrofilaremi, tidak membedakan infeksi dini dan
infeksi lama. Deteksi antigen merupakan deteksi metabolit, ekskresi dan sekresi
parasit tersebut, sehingga lebih mendekati diagnosis parasitologik, antibodi
monokional terhadap O.gibsoni menunjukkan korelasi yang cukup baik
dengan mikrofilaremia W. bancrofti di Papua New Guinea.
Diagnosis
EpidemiologikØ
Endemisitas filariasis suatu daerah
ditentukan dengan menentukan microfilarial rate (mf rate), Acute Disease
Rate (ADR) dan Chronic Disease Rate (CDR) dengan memeriksa
sedikitnya 10% dari jumlah penduduk.
Pendekatan praktis untuk menentukan
daerah endemis filariasis dapat melalui penemuan penderita elefantiasis.
Dengan ditemukannya satu penderita elefantiasis
di antara 1000 penduduk, dapat diperkirakan ada 10 penderita klinis akut dan
100 yang mikrofilaremik.
DIFFERENSIAL DIAGNOSIS
Ø
Pembesaran
Ekstremitas
Limfangitis bakterial akut, limfadenitis kronik, Limfogranuloma inguinale dan limfadenitis tuberkulosis dapat menyebabkan limfedema ekstremitas bawah. Trauma pada saluran limfe akibat operasi juga dapat menyebabkan limfedema. Pasien dengan limfedema tanpa adanya riwayat serangat akut berulang dikenal sebagai cold lymphedema merupakan kelainan bawaan. Tumor dan pembentukkan jaringan fibrotik juga dapat menyebabkan tekanan pada saluran limfe dan menurunkan aliran limfe sehingga terjadi limfedema secara perlahan. Mastektomi dengan limfedenektomi merupakan salah satu hal penyebab terjadinya limfedema pada ekstremitas atas.
Limfangitis bakterial akut, limfadenitis kronik, Limfogranuloma inguinale dan limfadenitis tuberkulosis dapat menyebabkan limfedema ekstremitas bawah. Trauma pada saluran limfe akibat operasi juga dapat menyebabkan limfedema. Pasien dengan limfedema tanpa adanya riwayat serangat akut berulang dikenal sebagai cold lymphedema merupakan kelainan bawaan. Tumor dan pembentukkan jaringan fibrotik juga dapat menyebabkan tekanan pada saluran limfe dan menurunkan aliran limfe sehingga terjadi limfedema secara perlahan. Mastektomi dengan limfedenektomi merupakan salah satu hal penyebab terjadinya limfedema pada ekstremitas atas.
Ø
Lipedema
Pembesaran kronik akibat jaringan lemak yang berlebihan, biasanya pada tungkai atas dan pinggul. Kelainan simetris, telapak kaki normal. Kelainan ini terjadi pada saat pubertas atau 1-2 tahun sesudahnya.
Pembesaran kronik akibat jaringan lemak yang berlebihan, biasanya pada tungkai atas dan pinggul. Kelainan simetris, telapak kaki normal. Kelainan ini terjadi pada saat pubertas atau 1-2 tahun sesudahnya.
Ø
Hernia Inguinalis
Kelainan ini dapat menyerupai hidrokel. Pada hernia batas atas masuk kedalam perut,testis teraba, isi dapat keluar masuk dan pada auskultasi bising usus (+). Pada saat pasien berdiri terlihat dasar hidrokel menyempit berbeda dengan hernia yang dasarnya melebar.
Kelainan ini dapat menyerupai hidrokel. Pada hernia batas atas masuk kedalam perut,testis teraba, isi dapat keluar masuk dan pada auskultasi bising usus (+). Pada saat pasien berdiri terlihat dasar hidrokel menyempit berbeda dengan hernia yang dasarnya melebar.
Ø
Knobs
Knobs/lump dengan pertumbuhan cepat dengan atau tanpa perdarahan dapat disebabkan oleh kanker kulit. Misetoma dan kromoblastosis juga dapat memberikan gambaran benjolan/nodus. Misetoma merupakan infeksi kronik yang disebabkan oleh jamur yang ditemukan pada tanah dan tumbuhan. Jamur masuk melalui luka kemudian terbentuk abses, sinus dan fistel yang multiple. Didalam sinus terdapat butir-butir (granules) yang merupakan kumpulan dari jamur tersebut. Kromoblastosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh jamur berpigmen yang ditemukan pada kayu, tumbuhan dan tanah. Perlu dibedakan kromoblastomikosis dengan limfedema stadium 6 yang memberikan gambaran mossy foot.
Knobs/lump dengan pertumbuhan cepat dengan atau tanpa perdarahan dapat disebabkan oleh kanker kulit. Misetoma dan kromoblastosis juga dapat memberikan gambaran benjolan/nodus. Misetoma merupakan infeksi kronik yang disebabkan oleh jamur yang ditemukan pada tanah dan tumbuhan. Jamur masuk melalui luka kemudian terbentuk abses, sinus dan fistel yang multiple. Didalam sinus terdapat butir-butir (granules) yang merupakan kumpulan dari jamur tersebut. Kromoblastosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh jamur berpigmen yang ditemukan pada kayu, tumbuhan dan tanah. Perlu dibedakan kromoblastomikosis dengan limfedema stadium 6 yang memberikan gambaran mossy foot.
Ø
Kiluria
Keadaan ini dapat juga disebabkan oleh trauma, kehamilan, tumor atau diabetes mellitus. Pada diabetes mellitus, kiluria terjadi akibat pus. Untuk membedakan ke dua keadaan ini, pasien diminta menampung urin dalam wadah transparan dan membiarkan urin selama 30-40 menit. Jika terjadi pemisahan antara sedimen dan urin, maka pasien tidak menderita kiluria.
Keadaan ini dapat juga disebabkan oleh trauma, kehamilan, tumor atau diabetes mellitus. Pada diabetes mellitus, kiluria terjadi akibat pus. Untuk membedakan ke dua keadaan ini, pasien diminta menampung urin dalam wadah transparan dan membiarkan urin selama 30-40 menit. Jika terjadi pemisahan antara sedimen dan urin, maka pasien tidak menderita kiluria.
3.4 Riwayat Alamiah
1.Prepatogenesis
Pada
filariasis, fase ini terjadi ketika seseorang digigit nyamuk yang
sudahterinfeksi, yaitu nyamuk yang dalam tubuhnya mengandung larva stadium 3
(L3). Masa prepaten, masa antara masuknya larva infektif sampai terjadinya
mikrofilaremia berkisar antara 37 bulan.Hanya sebagian saja dari penduduk
di daerah endemik yang menjadimikrofilaremik, dan dari kelompok mikrofilaremik
inipun tidak semua kemudianmenunjukkan gejala klinis. Nyamuk sendiri mendapat
mikro filaria karena menghisapdarah penderita atau dari hewan yang mengandung
mikrofilaria. Nyamuk sebagai vektor
menghisap
darah penderita (mikrofilaremia) dan pada saat itu beberapa microfilaria ikut
terhisap bersama darah dan masuk dalam lambung nyamuk.Dalam tubuh nyamuk
microfilaria tidak berkembang biak tetapi hanya berubah bentuk dalam
beberapa hari dari larva 1 sampai menjadi larva 3, karenanya diperlukangigitan
berulang kali untuk terjadinya infeksi. Didalam tubuh manusia larva 3
menujusistem limfe dan selanjutnya tumbuh menjadi cacing dewasa jantan atau
betina serta bekembang biak. Di sini faktor penyebab pertama belum
menimbulkan penyakit, tetapitelah mulai meletakkan dasar-dasar bagi
berkembangnya penyakit
2. Patogenesis
1. Fase Subklinis
Fase
ini disebut juga dengan pre-symtomatic, dimana perubahan faali atau
systemdalam tubuh manusia (proses terjadinya sakit) telah terjadi, namun
perubahan tersebuttidak cukup kuat untuk menimbulkan keluhan sakit dan pada
umumnya pencarian pengobatan belum dilakukan. Akan tetapi jika dilakukan
pemeriksaan denganmenggunakan alat-alat kesehatan seperti pemeriksaan
mikroskopis darah pada waktumalam hari, maka akan ditemukan mikrofilaria dalam
tubuh mereka. Begitu pula jikameminum obat Diethyl Carbamazine Citrate (DEC)
yang sedang digalakkan oleh pemerintah dalam program eliminasi penyakit
kaki gajah, akan timbul efek sampingseperti sakit kepala, sakit tulang atau otot,
pusing, anoreksia, muntah, demam, danalergi yang menandakan terdapat
microfilaria dalam tubuh mereka.
2. Fase Klinis
Pada
fase ini perubahan-perubahan yang terjadi pada jaringan tubuh telah cukupuntuk
memunculkan gejala-gejala (symptoms) dan tanda-tanda (signs) penyakit.Adapun
gejala akut yang dapat terjadi antara lain :
§
Demam berulang-ulang selama 3-5 hari, demam dapat hilang bila istirahat
danmuncul lagi setelah bekerja berat
§
Pembengkakan kelenjar getah bening (tanpa ada luka) didaerah lipatan paha,ketiak
(lymphadenitis) yang tampak kemerahan, panas dan sakit
§
Radang saluran kelenjar getah bening yang terasa panas dan sakit yang
menjalar dari pangkal kaki atau pangkal lengan kearah ujung (retrograde
lymphangitis)
§
Filarial abses akibat seringnya menderita pembengkakan kelenjar getah
bening,dapat pecah dan mengeluarkan nanah serta darah
§
Pembesaran tungkai, lengan, buah dada, buah zakar yang terlihat agak
kemerahandan terasa panas (early lymphodema)
3.Fase Konvalesens
Merupakan
tahap akhir dari fase klinis yang dapat berupa fase konvalesens(penyembuhan)
dan meninggal. Fase konvalesens dapat berkembang menjadi sembuhtotal, sembuh
dengan cacat atau gejala sisa (disabilitas atau sekuele). Filariasis
dapatdisembuhkan jika diobati sedini mungkin, namun jika tidak mendapatkan
pengobatandapat mengakibatkan Disabilitas (kecacatan/ketidakmampuan) karena
terjadi penurunanfungsi sebagian struktur/organ tubuh, yaitu berupa pembesaran
kaki, lengan, dan alatkelamin baik perempuan maupun laki-laki sehingga menurunkan
fungsi aktivitasseseorang secara keseluruhan.
3.5 Manifestasi Klinis
Manifestasi
klinis filariasis dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk usia, jenis
kelamin, lokasi anatomis cacing dewasa filaria, respon imun, riwayat pajanan sebelumnya,
dan infeksi sekunder. Berdasarkan pemeriksaan fisik dan parasitologi,
manifestasi klinis filariasis dibagi dalam 4 stadium
yaitu:
1.Asimptomatik atau subklinis filariasis
a. Individu asimptomatik dengan mikrofilaremia
1.Asimptomatik atau subklinis filariasis
a. Individu asimptomatik dengan mikrofilaremia
Pada
daerah endemik dapat ditemukan penduduk dengan mikrofilaria positif tetapi
tidak menunjukkan gejala klinis. Angka kejadian stadium ini meningkat
sesuai umur dan biasanya mencapai puncaknya pada usia 20-30 tahun, dan lebih
banyak terjadi pada pria dibandingkan wanita. Banyak bukti menunjukan bahwa
walaupun secara klinis asimptomatik tetapi semua individu yang terinfeksi W.
bancrofti dan B.malayi mempunyai gejala subklinis. Hal tersebut terlihat pada
40% individu mikrofilaremia ini menderita hematuri dan atau proteinuria yg
menunjukkan kerusakan ginjal minimal. Kelainan ginjal ini berhubungan dengan
adanya mikrofilaria dibandingkan dengan adanya cacing dewasa, karena hilangnya
mikrofilaria dalam darah akan mengembalikan fungsi ginjal menjadi normal.
Dengan lymphoscintigraphy tampak pelebaran dan terbelitnya limfatik disertai
tidak normalnya aliran limfe. Dengan USG juga terlihat adanya
limfangiektasia. Keadaan ini dapat bertahan selama bertahun-tahun yang
kemudian secara perlahan berlanjut ke stadium akut atau kronik.
b.Individu asimptomatik dan amikrofilaremia dengan antigen
filarial
Pada daerah endemik terdapat populasi yang terpajan dengan larva infektif (L3) yang tidak menunjukkan adanya gejala klinis atau adanya infeksi, tetapi mempunyai antibodi-antifilaria dalam tubuhnya.
Pada daerah endemik terdapat populasi yang terpajan dengan larva infektif (L3) yang tidak menunjukkan adanya gejala klinis atau adanya infeksi, tetapi mempunyai antibodi-antifilaria dalam tubuhnya.
2. Stadium
akut
Manifestasi
klinis akut dari filariasis ditandai dengan serangan demam berulang yang
disertai pembesaran kelenjar (adenitis) dan saluran limfe (lymphangitis)
disebut adenolimfangitis (ADL). Etiologi serangan akut masih diperdebatkan,
apakah akibat adanya infeksi sekunder, respon imun terhadap antigen filarial,
dan dilepaskannya zat-zat dari cacing yang mati atau hidup. Terdapat dua
mekanisme berbeda dalam terjadinya serangan akut pada daerah endemik:
a) Dermatolimfangioadenitis
akut (DLAA), proses di awali di kulit yang kemudian menyebar
ke saluran limfe dan kelenjar limfe. DLAA ditandai dengan adanya plak kutan
atau subkutan yang disertai dengan limfangitis dengan gambaran retikular dan
adenitis regional. Terdapat pula gejala konstitusional sistemik maupun lokal
yang berat berupa demam, menggigil dan edema pada tungkai yang terkena.
Terdapat riwayat trauma, gigitan serangga, luka mekanik sebagai porte d’
entrée. DLAA adalah ADL sekunder yang disebabkan oleh infeksi bakteri atau
jamur.3 DLA secara klinis menyerupai selulitis atau erysipelas.
b) Limfangitis filarial
akut (LFA), merupakan reaksi imunologik dengan matinya cacing dewasa akibat
sistim imun penderita atau terapi. Kelainan ini ditandai dengan adanya Nodus
atau cord yang disertai limfadenitis atau limfangitis retrograde pada
ekstremitas bawah atau atas, yang menyebar secara sentrifugal. Keadaan ini
dapat terjadi secara berulang pada lokasi yang sama. Filariasis bancrofti
sering hanya mengenai sistem limfatik genitalia pria sehingga mengakibatkan
terjadinya funikulitis, epididimitis atau orkitis, sedangkan pada filariasis
brugia, kelenjar limfe yang terkena biasanya daerah inguinal atau aksila yang
nantinya berkembang menjadi abses yang pecah meninggalkan jaringan parut.
Keluhan biasanya timbul setelah bekerja berat. Pada filariasis brugia, sistem
limfe alat kelamin tidak pernah terkena. Pada masa resolusi fase akut, kulit
pada ekstremitas yang terlibat akan mengalami eksfoliatif yang luas. Keadaan
akut dapat berulang 6-10 episode per tahun dengan lama setiap episode 3-7
hari.9 Serangan berulang adenolimfangitis (ADL) merupakan faktor penting dalam
perkembangan penyakit. Pani dkk membuktikan bahwa terdapat hubungan langsung
antara jumlah serangan akut dan beratnya limfedema. Makin lama gejala akut
semakin ringan, yang akhirnya menuju pada stadium kronik. DLAA lebih sering
ditemukan dibandingkan LFA.
3. Stadium kronik
Manisfestasi
kronis filariasis jarang terlihat sebelum usia lebih dari tahun dan hanya
sebagian kecil dari populasi yang terinfeksi mengalami stadium ini. Hidrokel,
limfedema, elephantiasis tungkai bawah, lengan atau skrotum, kiluria adalah
manifestasi utama dari filariasis kronik. Hidrokel merupakan pembesaran testis
akibat terkumpulnya cairan limfe dalam tunika vaginalis testis. Kelainan ini
disebabkan oleh W. bancrofti dan merupakan manifestasi kronis yang paling
sering ditemukan pada infeksi filariasis. Pada daerah endemik, 40-60% laki-laki
dewasa memiliki hidrokel. Cairan yang terkumpul biasanya bening. Uji
transluminasi dapat membantu menegakkan diagnosis. Limfedema pada ekstremitas
atas jarang terjadi dibandingkan dengan limfedema pada ekstremitas bawah. Pada
filariasis bancrofti seluruh tungkai dapat terkena, berbeda dengan filariasis
brugia yang hanya mengenai kaki dibawah lutut dan kadang-kadang lengan dibawah
siku.Gerusa dkk (2000) menetapkan 7 stadium limfedema. Stadium 1 menggambarkan
limfedema yang ringan atau sedang sedangkan stadium 7 menggambarkan keadaan
yang paling berat. Pembagian ini berkaitan dengan beratnya limfedema, resiko
terkenanya serangan akut dan dalam penatalaksanaan. Limfedema pada filariasis
biasanya terjadi setelah serangan akut berulang kali. Kelainan pada kulit dapat
terlihat sebagai kulit yang menebal, hiperkeratosis, hipotrikosis atau
hipertrikosis, pigmentasi, ulkus kronik, nodus dermal dan subepidermal.
Limfedema
pada genitalia melibatkan pembengkakan pada skrotum dan atau penebalan kulit
skrotum atau kulit penis yang akan memberikan gambaran peau d’ orange yang
nantinya berkembang menjadi lesi verukosa. Kiluria terjadi akibat bocornya atau
pecahnya saluran limfe oleh cacing dewasa yang menyebabkan masuknya cairan
limfe ke dalam saluran kemih. Kelainan ini disebabkan oleh W. bancrofti. Pasien
dengan kiluria mengeluhkan adanya urine yang berwarna putih seperti susu (milky
urine). Diagnosis kiluria ditetapkan dengan ditemukannya limfosit pada urine.
Limforea
sering terjadi pada dinding skrotum dimana cairan limfe meleleh keluar dari
saluran limfe yang pecah. Pada daerah endemik, payudara dapat terkena, baik
unilateral ataupun bilateral. Hal ini harus dapat dibedakan dengan mastitis
kronik dan limfedema pasca mastektom.
4.Occult filariasis
4.Occult filariasis
Occult
filariasis merupakan infeksi filariasis yang tidak memperlihatkan gejala klasik
filariasis serta tidak ditemukannya mikrofilaria dalam darah, tetapi ditemukan
dalam organ dalam. Occult filariasis terjadi akibat reaksi hipersensitivitas
tubuh penderita terhadap antigen mikrofilaria. Contoh yang paling jelas adalah
Tropical Pulmonary Eosinophilia (TPE). TPE sering ditemukan di Southeast Asia,
India, dan beberapa daerah di Cina dan Afrika TPE adalah suatu sindrom yang
terdiri dari gangguan fungsi paru, hipereosinofilia (>3000mm3), peningkatan
antibodi antifilaria, peningkatan IgE antifilaria dan respon terhadap terapi
DEC. Manifestasi klinis TPE berupa gejala yang menyerupai asma bronkhial (
batuk, sesak nafas, dan wheezing),penurunan berat badan, demam, limfadenopati
lokal, hepatosplenomegali. Pada foto torak tampak peningkatan corakan
bronkovaskular terutama didasar paru, dan pemeriksaan fungsi paru tampak defek
obstruktif. Jika pasien dengan TPE tidak diobati, maka penyakit akan berkembang
menjadi penyakit paru restriktif kronik dengan fibrosis interstisial.
Pada
daerah endemis, perjalanan penyakit filariasis berbeda antara penduduk asli
dengan penduduk yang berasal dari daerah non-endemis dimana gejala dan tanda
lebih cepat terjadi berupa limfadenitis, hepatomegali dan splenomegali.
Llimfedema dapat terjadi dalam waktu 6 bulan dan dapat berlanjut menjadi
elefantiasis dalam kurun waktu 1 tahun. Hal ini diakibatkan karena pendatang
tidak mempunyai toleransi imunologik terhadap antigen filaria yang biasanya
terlihat pada pajanan lama. Resiko terjadinya manifestasi akut dan kronik pada
seseorangan yang berkunjung ke daerah endemis sangat kecil, hal tersebut
menunjukkan diperlukannya kontak/pajanan berulang dengan nyamuk yang
terinfeksi. Riwayat sensitisasi prenatal dan toleransi imunologik terhadap
antigen filarial mempengaruhi respon patologi infeksi dan tendensi terjadinya
manifestasi subklinis pada masa kanak-kanak.
3.6 Patologi dan Imunologi
Pada
filariasis, sebagian besar kerusakan terjadi pada pembuluh limfe yang
disebabkan oleh cacing dewasa maupun oleh respon imun inang terhadap cacing
dewasa yang hidup didalamnya. Kondisi patologis yang disebabkan oleh parasit
dan respon imun atau kombinasi diantara keduanya agak berbeda. Pada percobaan
menggunkan mencit diperoleh informasi bahwa cacing dewasa menginduksi
proliferasi sel endotel dan dilatasi limfatik (MCMAHON dan SIMONSEN, 1996).
Selanjutnya dilatasi limfatik tersebut akan diikuti dengan odema limfatik (lymphoedema).
Disisi lain respon imun terhadap cacing dewasa menyebabkan terbentuknya granuloma
inflamatorik (inflammatory granuloma reaction) disekitar parasit
(MCMAHON dan SIMONSEN, 1996) yang diinisiasi oleh reaksi antigen-antibodi. Foki
granuloma inflamatorik dan kompek antigen-antibodi menyebabkan tyerjadinya
obstruksi limfatik dan odema limfa. Gabungan dari dua kondisi patologis yang
disebabkan oleh parasit dan respon imun menyebabkan terjadinya kaki gajah. Kaki
gajah termanifestasi sebagai konsekuensi karena adanya obstruksi limfatik yang
menyebabkan pembengkakan saluran limfe akibat odem (baik akibat sensitisasi
parasit, respon imun atau keduanya).
Kaki
gajah tidak terbentuk seketika secara akut tetapi terbentuk akibat edema
limfatik intermiten yang terkait dengan reinfeksi kontinyu (berulang ulang)
periodikal yang menyebabkan kerusakan kolateral pembuluh limfa dan pembentukan
jaringan fibrosa serta kalsifikasi (ANONIM., 1996, MCMAHON dan SIMONSEN, 1996).
Terdapat
perbedaan imunopatogenesis pada limfatik filariasis terkait dengan stadium
parasit. Cacing dewasa hidup dalam limfa sampai beberapa tahun sedangkan
microfilaria hanya hidup beberapa bulan dalam darah dan akan mati jika tidak
segera terhisap oleh vector (nyamuk). Respon imun yang mucul terhadap pada
cacing dewasa berbeda dengan respon imun pada mikrofilaria. Implikasi yang ditimbulkan
oleh respon imun diantara kedua stadium tersebut juga berbeda. Pada cacing
dewasa respon imun akan terkait dengan formasi kaki gajah sebagai ciri klinis
klasik dari limfatik filariasis. Sebaliknya respon imun pada mikrofilaria
cenderung berimplikasi pada kejadian amikrofilaremia dan terjadinnya TPE.
Didaerah endemik, individu yang menunjukkan amikrofilaremia dan tanpa gejala
klinis memiliki antibodi terhadap selubung mikrofilaria lebih tinggi dibanding
individu yang menunjukkan mikrofilaremia (MCMAHON dan SIMONSEN, 1996). Didaerah
endemic paparan dan reinfeksi terjadi secara berulang dan periodik serta
bervariasi dalam hal kuantitas parasit sehingga stimulasi antibody berlangsung
kontinyu. Namun demikian, jumlah individu resisten tidak selalu lebih besar
dibanding yang peka. Amikrofilaremia tidak selalu berarti bahwa mikrofilaria
dapat terliminasi sempurna tetapi mungkin juga bermigrasi ke jaringan atau
organ. Tampaknya interaksi parasit – inang merupakan kunci dari
imunopatogenesis tersebut, terlebih meskipun amikrofilaremia, individu tersebut
masih mungkin mengalami TPE.
Meskipun
antibodi pada paparan berulang dalam waktu lama dapat terbentuk tetapi
tampaknya pada awal awal paparan respon imun terhadap mikrofilaria cenderung
tidak protektif. Hasil penelitian in vitro dengan sel dendritik manusia
memperlihatkan bahwa MFAg (antigen solubel dari mikrofilaria) mampu menginduksi
sel dendritik untuk mengalami maturasi tanpa disertai peningkatan kemampuan
sekresi IL 12 dan IL 10 secara bermakna dan tidak optimalnya presentasi antigen
pada limfosit (SEMNANI et al., 2001). Kedua sitokin tersebut bersama
dengan presentasi antigen pada limfosit sangat esensial untuk regulasi dan
aktivasi komponen seluler dan humoral pada respon imun adaptif maupun natural.
Fenomena tersebut member penjelasan atas kemapuan mikrofilaria untuk bertahan
hidup dalam darah sampai beberapa bulan tanpa dapat dieliminasi sempurna oleh
antibodi. Terstimulasinya sistem imun untuk berespon dan menghasilkan antibodi
atau komponen seluler adaptif spesifik terhadap mikrofilaria diduga terjadi
akibat paparan berulang pada individu tersebut dalam jangka waktu lama seperti
terlihat pada sebagian individu yang tinggal didaerah endemik.
Di
daerah endemik, terjadi kenaikan titer IgG4 yang lebih tinggi dibanding IgG1,
IgG2 dan IgG3 pada individu yang amikrofilaremia, mikrofilaremia dan
elefantiasis (SUYOKO, komunikasi pribadi). Hal ini tidak mengejutkan mengingat
bahwa regulasi pembentukan IgG4 dibawah kendali IL4 sedangkan IgG1 dan IgG3
dibawah kendali IL 10 yang produksinya relative rendah pada paparan MFAg
seperti dilaporkan SEMNANI et al. (2001). Sebalinya IgG2 yang cenderung
kurang protektif dan kurang terstimulasi pada filariasi juga dipandang wajar
mengingat sintesis antibodi tersebut dibawah regulasi IFNg yang rendah seperti
dinyatakan oleh SEMNANI et al. (2001). Namun pada individu yang
mengalami elefantiasis tingkat kenaikan IgG3 dan IgG1 lebih tinggi disbanding
individu yang tidak mengalami elefantiasis. Demikian pula dengan IgE yang
meningkat pada individu amikrofilaremia simtomatik dibanding individu
mikrofilaria asimtomatik (SUYOKO, komunikasi pribadi).
Terdapat
perbedaan umum sifat subklas IgG terkait dengan proteksi dan progresifitas
patologi. Peningkatan IgG3 dan IgG1 pada penderita elefantiasis sangat
korelatif dengan terjadinya granuloma inflamatorik yang obstruktif pada
pembuluh limfe. Hal ini disebabkan karena IgG3 dan IgG1 sangat mudah membentuk
komplek antigen-antibodi dan berikatan secara sangat kuat dengan komponen
seluler (monosit, makrofag, neutrofil) melalui reseptor FcγRI ataupun berekasi lemah dengan FcγRIII (pada monosit, makrofag, sel NK dan limfosit T).
Disisi lain, IgG3 dan IgG1 mampu mengaktivasi kompleman melalui jalur klasik
yang secara alamiah akan menghasilkan efek samping produk C2a, C3a dan C5a yang
bersifat anafilotoksin. Sifat sifat tersebut secara keseluruhan dan integratif
sangat terkait dengan pembentukan granuloma inflamatorik pada penderita
filariasis dan memicu terjadinya elefantiasis. Walaupun IgG4 juga dapat
berikatan dengan komponen seluler dari system imun sepertihalnya IgG3 dan IgG1
namun kemampuannya sangat rendah dibanding kedua subklas IgG tersebut sehingga
diperkirakan tidak banyak terlibat dalam formasi kaki gajah (elefantiasis).
Adapun
TPE tampaknya terkait dengan IgE (dominan) dan IgG4 yang telah diketahui
kemampuannya menembus jaringan lebih tinggi dibanding subklas IgG lainnya. Hal
tersebut digeneralisir dari sifat IgG4 dan IgG2 yang mampu menembus plasenta
sedang IgG3 dan IgG1 tidak mampu menembus plasenta (SNAPPER dan FINKELMAN,
1998). Reaksi inflamasi jaringan dan persisten hipereosinofilia yang menyertai
TPE merupakan penghubung keterkaitan gejala tersebut dengan keberadaan IgE
maupun IgG4 yang mampu mengaktivasi komplemen melalui jalur alternatif.
3.7 Mekanisme Penularan
Seseorang
dapat tertular atau terinfeksi penyakit kaki gajah apabila orang tersebut
digigit nyamuk yang infektif yaitu nyamuk yang mengandung larva stadium III (
L3 ). Nyamuk tersebut mendapat cacing filarial kecil ( mikrofilaria ) sewaktu
menghisap darah penderita mengandung microfilaria atau binatang reservoir yang
mengandung microfilaria. Siklus Penularan penyakit kaiki gajah ini melalui dua
tahap, yaitu perkembangan dalam tubuh nyamuk ( vector ) dan tahap kedua
perkembangan dalam tubuh manusia (hospes) dan reservoair.
Tidak
seperti Malaria dan Demam berdarah, Filariasis dapat ditularkan oleh 23 spesies
nyamuk dari genus Anopheles, Culex, Mansonia, Aedes & Armigeres. Karena
inilah, Filariasis dapat menular dengan sangat cepat. Yang harus diketahui
adalah, seseorang yang sudah menderita kaki gajah atau yang kakinya sudah
bengkak luar biasa, tidak bisa menularkan penyakitnya lagi. Justru mereka yang
kelihatannya sehat dan belum mengalami pembengkakan, tapi punya larva
mikrofilarialah yang bisa menularkan penyakit itu pada orang lain.
3.8 Simptomatologi
Seseorang
yang terinfeksi penyakit kaki gajah umumnya terjadi pada usia kanak-kanak,
dimana dalam waktu yang cukup lama (bertahun-tahun) mulai dirasakan
perkembangannya. Adapun gejala akut yang dapat terjadi antara lain :
Ø
Demam berulang-ulang selama 3-5 hari, demam dapat hilang bila istirahat dan
muncul lagi setelah bekerja berat
Ø
Pembengkakan kelenjar getah bening (tanpa ada luka) didaerah lipatan paha,
ketiak (lymphadenitis) yang tampak kemerahan, panas dan sakit
Ø
Radang saluran kelenjar getah bening yang terasa panas dan sakit yang menjalar
dari pangkal kaki atau pangkal lengan kearah ujung (retrograde lymphangitis)
Ø
Filarial abses akibat seringnya menderita pembengkakan kelenjar getah bening,
dapat pecah dan mengeluarkan nanah serta darah
Ø
Pembesaran tungkai, lengan, buah dada, buah zakar yang terlihat agak kemerahan
dan terasa panas (early lymphodema)
Sedangkan
gejala kronis dari penyakit kaki gajah yaitu berupa pembesaran yang menetap (elephantiasis)
pada tungkai, lengan, buah dada, buah zakar (elephantiasis skroti).
3.9 Pencegahan dan Penanggulangan
a. Pencegahan
Bagi penderita penyakit gajah diharapkan kesadarannya untuk memeriksakan
kedokter dan mendapatkan penanganan obat-obtan sehingga tidak menyebarkan
penularan kepada masyarakat lainnya. Untuk itulah perlu adanya pendidikan dan
pengenalan penyakit kepada penderita dan warga sekitarnya.
Pemberantasan nyamuk diwilayah masing-masing sangatlah penting untuk memutus
mata rantai penularan penyakit ini. Menjaga kebersihan lingkungan merupakan hal
terpenting untuk mencegah terjadinya perkembangan nyamuk diwilayah tersebut.
Berusaha menghindarkan diri dari
gigitan nyamuk dengan cara :
-Tidur memakai kelambu
-Lubang-lubang/ ventilasi rumah
ditutup dengan kawat kasa halus
-Tidak membiarkan nyamuk-nyamuk
bersarang didalam atau disekitar rumah
-Membunuh nyamuk dengan obat semprot
nyamuk
Membersihan tanaman air atau selokan
untuk menghilangkan tempat bersarangnya nyamuk.
b. Penanggulangan
Tujuan utama dalam penanganan dini terhadap penderita penyakit kaki gajah
adalah membasmi parasit atau larva yang berkembang dalam tubuh penderita,
sehingga tingkat penularan dapat ditekan dan dikurangi.
Dietilkarbamasin {diethylcarbamazine (DEC)} adalah satu-satunya obat filariasis
yang ampuh baik untuk filariasis bancrofti maupun malayi, bersifat
makrofilarisidal dan mikrofilarisidal. Obat ini tergolong murah, aman dan tidak
ada resistensi obat. Penderita yang mendapatkan terapi obat ini mungkin akan
memberikan reaksi samping sistemik dan lokal yang bersifat sementara dan mudah
diatasi dengan obat simtomatik.
Dietilkarbamasin
tidak dapat dipakai untuk khemoprofilaksis. Pengobatan diberikan oral sesudah
makan malam, diserap cepat, mencapai konsentrasi puncak dalam darah dalam 3
jam, dan diekskresi melalui air kemih. Dietilkarbamasin tidak diberikanpada
anak berumur kurang dari 2 tahun, ibu hamil/menyusui, dan penderita sakit berat
ataudalam keadaan lemah.
Namun
pada kasus penyakit kaki gajah yang cukup parah (sudah membesar) karena tidak
terdeteksi dini, selain pemberian obat-obatan tentunya memerlukan langkah
lanjutan seperti tindakan operasi.
Untuk memberantas penyakit filariasis
ini sampai tuntas WHO sudah menetapkan Kesepakatan Global,
yaitu The Global Goal of Elimination of Lymphatic Filariasis as a
Public Health problem by The Year 2020 (ANONIM, 2002).
Program eliminasi dilaksanakan melalui pengobatan masal
dengandengan kombinasi diethyl carbamazine (DEC) dan albendazole
(Alb) yang direkomendasikan setahun sekali selama lima
tahun.
Untuk
melaksanakan Eliminasi ini WHO menetapkan 2 strategi utama
yaitu:
1. Pemutusan rantai penularan dengan
cara pengobatan massal kepada penduduk di
Kecamatan Endemis, dengan menggunakan DEC dan Albendazole setahun
sekali, selama 5 – 10 tahun.
2. Penatalaksanaan kasus klinis untuk
mencegah kecacatan.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Ø Filariasis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh cacing
filaria yang ditularkan melalui berbagai jenis nyamuk. Terdapat tiga spesies
cacing penyebab Filariasis yaitu: Wuchereria bancrofti; Brugia malayi;
Brugia timori.
Ø Filariasis dapat ditularkan oleh seluruh jenis spesies nyamuk. Di
Indonesia diperkirakan terdapat lebih dari 23 spesies vektor nyamuk penular
filariasis yang terdiri dari genus Anopheles, Aedes, Culex, Mansonia, dan
Armigeres. Untuk menimbulkan gejala klinis penyakit filariasis diperlukan
beberapa kali gigitan nyamuk terinfeksi filaria dalam waktu yang lama.
Ø Berdasarkan laporan tahun 2009, tiga provinsi dengan jumlah kasus
terbanyak filariasis adalah Nanggroe Aceh Darussalam (2.359 orang), Nusa
Tenggara Timur (1.730 orang) dan Papua (1.158 orang). Tiga provinsi dengan
kasus terendah adalah Bali (18 orang), Maluku Utara (27 orang), dan Sulawesi
Utara (30 orang), dapat dilihat pada Gambar 2. Kejadian filariasis di NAD
sangat menonjol bila dibandingkan dengan provinsi lain dan merupakan provinsi
dengan jumlah kasus tertinggi di seluruh Indonesia.
Ø Manifestasi klinis filariasis dipengaruhi oleh berbagai faktor,
termasuk usia, jenis kelamin, lokasi anatomis cacing dewasa filaria, respon
imun, riwayat pajanan sebelumnya, dan infeksi sekunder.
Ø Seseorang dapat tertular atau terinfeksi penyakit kaki gajah
apabila orang tersebut digigit nyamuk yang infektif yaitu nyamuk yang
mengandung larva stadium III ( L3 ). Nyamuk tersebut mendapat cacing filarial
kecil ( mikrofilaria ) sewaktu menghisap darah penderita mengandung
microfilaria atau binatang reservoir yang mengandung microfilaria. Siklus
Penularan penyakit kaiki gajah ini melalui dua tahap, yaitu perkembangan dalam
tubuh nyamuk ( vector ) dan tahap kedua perkembangan dalam tubuh manusia
(hospes) dan reservoair.
Ø Bagi penderita penyakit gajah diharapkan kesadarannya untuk
memeriksakan kedokter dan mendapatkan penanganan obat-obtan sehingga tidak
menyebarkan penularan kepada masyarakat lainnya. Untuk itulah perlu adanya
pendidikan dan pengenalan penyakit kepada penderita dan warga
sekitarnya.Pemberantasan nyamuk diwilayah masing-masing sangatlah penting untuk
memutus mata rantai penularan penyakit ini. Menjaga kebersihan lingkungan
merupakan hal terpenting untuk mencegah terjadinya perkembangan nyamuk
diwilayah tersebut.
4.2 Saran
Ø Menjaga kebersihan diri dan lingkungan merupakan syarat utama untuk
menghindari infeksi filariasis.
Ø Pemberantasan nyamuk dewasa dan larva perlu dilakukan sesuai aturan
dan indikasi.
Ø Pemerintah harus terjun langsung kemasyarakat untuk memberikan
penyuluhan kepada masyakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar